Cara Move On Setelah Hubungan Lama.


aku akan mulai dengan jujur, bahwa rasa sakit itu pasti akan ada dan butuh waktu. Tapi Hei, aku Tiara setelah 10 tahun 4 bulan lebih berhubungan dengan mantan. Desember ini akhirnya aku bisa menuliskan, bagaimana cara aku akhirnya terbebas dari semua bayangan masa lalu dan menemukan kembali diri aku secara utuh tanpa kehadiran pasangan. 

Tulisan kali ini engga akan membahas apa yang terjadi, bagaimana, dan detail pada fase berhubungan tapi fokus pada tahapan aku ketika memutuskan bahkan ketika masih ragu, untuk benar-benar berakhir hingga akhirnya aku pulih dari semuanya, tidak sebentar butuh 3 bulan pertama aku mengakui move on dan total 7 bulan akhirnya membicarakan ini tanpa rasa apapun, namun masih membuatku terperangah karena ternyata aku bisa. Selayaknya hubungan yang tidak sehat pada umumnya, sering kali aku balik kedalam pelukan dan berpisah, mungkin karena masih bocah sampai akhirnya kedewasaan datang. Akhirnya dengan mantap setelah putus di 20 Febuari 2025 akhirnya aku melangkah, memutuskan semua hubungan dan kontak. Nah kenapa akhirnya cukup?  

1. Pahami Cycle Toxic

Hubungan ini tidak berakhir dengan sendirinya. Dimulai dari kesadaran aku dengan sikap toxic dalam hubungan ini, kita sempat ke psikolog untuk membahas masalah hubungan namun tetap gagal. Akhirnya setelah beragam hal terjadi, aku memutuskan pergi setelah menemani 3796 hari hingga menepati janji terakhir menemani ia sumpah jabatan. Dari sana, rencana-nya Maret 2025, aku melepaskan dan no kontak selama 2 minggu; tapi masih ada trigger factor yang akhirnya membuat aku balik 'check', akhirnya masuk kembali ke dalam cycle. 

Cycle ini akhirnya aku pahami sebagai dibentuk dari ikatan 'adrenalize love' artinya hubungan yang memberikan trigger pada hormon epinephrine yang dikenal dengan adrenaline rush. Hal ini memberikan adiksi pada manusia yang terlibat didalamnya, makanya orang-orang yang berada dalam hubungan yang toxic susah keluar dari cycle yang ada. Hal ini sering kali juga bukan bentuk cinta yang sejati. Lebih banyak ikatan karena luka kecil, manipulasi, dan bahkan kontrol dari masing-masing pihak. Akhirnya ga jarang kaya aku, kena trigger dan balik dalam cycle dan sistem toxic. Maka dari itu masuk ke fase berikutnya;


2.Fase Menyadari 


Setelah paham cycle ini ada, akhirnya aku mulai pelan memahami bagaimana cara aku mereduksi adiksi. Selayaknya orang 'addict' kita ga bisa langsung keluar, karena neuron-transmitten kita sering kali merasa membutuhkan trigger factor tersebut agar merasa aman dan nyaman—meski realitanya hanya ilusi. Hal ini terjadi karena pola diri yang berada dalam hubungan yang tidak sehat secara cukup lama. Dekat dengan attachment issue, pernah dengan si avoidant? atau anxiety? nah itu adalah kelekatan hubungan (attachment) yang menjadi salah satu awal mula hal ini terjadi.

Itulah mengapa, akhirnya, aku tidak hanya menyelesaikan masalah hubungan secara romantis, tapi overall, hubungan aku dengan orang disekitar, baik orang tua, keluarga, dan pertemanan. Mengubah hampir keseluruhan cara aku melihat 'kelekatan' dalam hubungan itu sendiri. Maka dari itu tidak sebentar, butuh waktu sekitar 2-3 bulan. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan, caraku, cukup extreme. Aku pindah pulau selama sebulan dari Jawa ke Bali, di bulan Maret. Membuat pola, kebiasaan, dan rutinitas yang berbeda kalau kata orang sih, ganti suasana? Oh ya itu juga cara otak loh, makanya banyak orang yang otomatis hijrah sementara atau bahkan aku bertemu dengan orang yang agak permanen. Ternyata aku kurang cocok tinggal di Bali, jadi April kembali ke Jakarta tapi pindah kamar!

Akhirnya aku berhasil putus total setelah 13 Mei, karena tidak lain dan bukan muak. Cukup rasanya segala usaha dan upaya bersikap pengertian, apalagi aku menyadari bahwa aku juga enggan berada dalam cycle toxic. YAUDAHLAH AJA GITU SELESAI. 


Part I. Part dimana akhirnya benar-benar berakhir. 


3. Fase Menerima

Tantangan terbesar dalam mengakhiri hubungan adalah menerima bahwa itu benar-benar berakhir. Titik. Ga pake tapi, ga pake terus, dan ga pake kemungkinan. Disini yang menurut aku berat banget, karena menerima bahwa segala hal dibelakang dan yang direncanakan berarti selesai. Tanpa ada kesempatan. Sejujurnya, pasti ketika kalian membaca ini, kalian bisa menghitung kan berapa banyak kesempatan yang sudah diberikan selama beberapa hari, minggu, bulan, dan bahkan tahun? 

A. Menerima Akhir

Menyadari bahwa setiap perjumpaan pasti ada akhir. Ketika semua berakhir, sebenarnya bukan hal baru tapi sudah diprediksi dan dicurigai. Hanya saja, menerima itu berakhir perlu di-amin-kan dari dalam diri, otak, dan hati. 

Fase ini jadi salah satu yang on going cukup lama, kayaknya butuh 5 bulan. Kadang, sebagai perempuan ada fase menstruasi yang membuat hormon diotak bingung, ga ada apa apa tiba-tiba keinget atau bahkan kangen. Padahal phase menstruasi itu sebenarnya lagi fase yang familiar, mirip sama kerinduan meski bukan benar-benar rindu tapi terbiasa akan kehadiran sosok tersebut. Maka dari itu di fase ini aku belajar menerima bahwa hubungannya telah berakhir, berkali-kali. Misalnya lagi diem-diem aja keinget kenangan lalu, ya disadari bahwa itu di masa lalu. Ga bisa diulang karena sudah berakhir hubungannya. Atau misalnya, ngeliat orang yang pacaran dikasih bunga, ya disadari bahwa saat ini sudah berakhir masa berdua sama pasangan. 

Beberapa orang mungkin akan 'ga suka', 'membenci', atau bahkan ga mau keluar sama sekali buat menghindari hal-hal yang membuat teringat bahwa itu sudah berakhir, dan betapa itu menyakitkan. Fase itu wajar, tapi harus pelan-pelan dihadapi. Jujur sama perasaan diri sendiri adalah kunci dari menerima. Menerima perasaan berakhir, respon yang ada ya juga diterima aja. Engga mudah, tapi fase denial yang terlalu lama (prolong), bisa masuk ke fase depresi karena menahan semua rasa yang seharusnya dirasakan; disana ada 2 opsinya, membiarkan rasa itu lewat atau bereaksi. 

Reaksinya beragam, ada yang kemudian ga terima itu berakhir akan membandingkan kehidupan saat ini dengan si mantan, ngecheck akun pasangan, dan kemudian ketambahan rasa sakit hati, atau, ya menangis karena semua sudah berakhir. Nah, perlahan-lahan ketika sudah bisa menerima, rasa apapun ya lewat saja. Bahkan untuk bereaksi sudah enggan dan engga ada energinya. Semua hadirnya pada kontrol diri. Biasanya difase ini aku akan menyadari emosi, menerima, dan bertanya secara konsensus, hati mau apa? otak mau apa? diri mau apa? apakah perlu ada follow up atau yaudah biarin aja. Sekarang sih, sudah bisa biarin aja. 

B. Menerima Sendiri

Jujur, kalau longterm relationship, yang bahkan kata orang seperti sudah bercerai atau bahkan kalau nyicil KPR sudah lunas sampai kalau punya anak sudah SD. Ya, jawabannya adalah menerima bahwa segala sesuatu yang bersama itu, akhirnya dilalui sendiri-an. 

Jadi tantangan banget buat aku. Si Manja. Intensitas ketemu mantanku itu seminggu bisa setiap hari sampai maksimal banget seminggu dua kali, dalam 9 tahun berhubungan. Setahun terakhir untungnya dia kabur ke kota asalnya jadi LDR. Nah difase itu ternyata membiasakan apa-apa sendiri. Meskipun masih sebulan bisa disamperin dua minggu sekali, akhirnya tetap most of the time, aku belajar sendiri. Layaknya pencapaian mulai dari pergi kemana-mana sendiri, naik transportasi online, dateng ke acara sendiri, dan akhirnya menerima bahwa semua pada akhirnya akan sendiri. 

Hal yang aku lakukan berikutnya adalah, pergi ketempat yang jadi favorite ketika berhubungan menjadi sendiri, alias hampir seluruh kota Jakarta dari ujung sampai ujung. Terutama tempat favorite mantan, mulai dari tempat makan, tempat main, dan tempat lain yang menyimpan kenangan magis kala masih berhubungan. Dirasakan dan ditangisi aja, bahwa semua hal yang dulu biasa dilakukan realitanya tidak mungkin lagi dilakukan. Dibeberapa tempat bahkan diganti kemudian memorinya, aku mengajak orang lain buat hadir, dan menggantikan kenangan lama dengan yang baru. Menerima bahwa melakukan kegiatan apapun sendiri itu tetap bisa dilakukan, tanpa bersalah, tanpa sedih, ataupun tidak se-menyenangkan ataupun se-seru sebelumnya.  

Menerima sendiri juga belajar bahwa kita Al-Fani, akan mati pada akhirnya. Jadi belajar menerima sendiri itu baik-baik saja dan tidak ada yang salah. Belajar punya kepercayaan baru, bahwa sendiri itu aman. Untungnya pelarian aku kepada Tuhan, aku tau bahwa sebagai mahluk hidup akan mati, ditinggalkan, dan kesendirian itu pasti. Hanya Tuhan yang abadi dan bisa nemenin. 

Hal ini kemudian membantu aku dalam aspek lain, misalnya temen atau keluarga yang sudah punya prioritas berbeda dan akhirnya harus nyaman dengan sendirian. Bahwa kesendirian itu bukan kesepian. 

Sendiri ≠ Kesepian

Hal tersebut membantu aku menerima sendiri dan memaknai-nya menjadi hal yang justru menguatkan aku dalam melangkah secara individu maupun profesional. 

C. Menerima Tenang

Fase ini adalah tantangan yang sampai detik ini masih aku coba pelajari, hal yang tidak terduga ketika aku keluar dari cycle yang toxic adalah tenang yang luar biasa. Aneh awalnya. Ketika dulu dalam hubungan cape banget, drained, kaya ga punya energi, dan ketika keluar rasanya banyak energi yang aku miliki. Aku banyak banget kegiatan, tapi bukan karena depresi tapi sebaliknya ekspresi energi aku yang hilang. Sekitar 3 bulan dari Juni-Agustus aku banyak banget melakukan hal baru. Melakukan hal impossible, sampai di September akhirnya aku mulai slowing down untuk istirahat, tapi ternyata aku merasa cukup panik, merasakan kembali cemas (anxiety), menyadari bahwa ada trigger moment, mulai dari ulang tahun dia, aku, dan yang seharusnya anniversary di satu bulan tersebut. Disanalah aku belajar, menjadi sehat secara mental adalah hal baru. Biasanya aku cemas, overthinking, dan membuat beragam skenario ketika berada didalam rasa tidak aman. 

Sekarang aku berpasrah pada Tuhan, mempercayakan semua dalam kendali Tuhan, dan berhenti untuk melawan apa yang Tuhan telah takdirkan. Ternyata, mempercayai Tuhan dan rencananya, aku pelan-pelan menuntun diriku sendiri, pada tenang. Ketika otak keluar dari fase familiar dari hubungan yang toxic, ternyata ia seperti keluar ke hutan. Tidak ada jalan. Harus dibangun jalan baru, ga jarang kadang jalannya buntu atau malah kembali ke jalan sebelumnya. Hebatnya otak manusia dengan neuroplasticity kemampuan untuk belajar tanpa henti, menghubungkan hal baru, dan membentuk formasi dari informasi dan lingkungan yang baru. 

Tenang tersebut akhirnya yang membantu aku perpikir, memahami, dan menerima realita lebih baik. Ibaratnya setelah kacau yang membuat aku tidak bisa menguraikan benang kusut, akhirnya setelah tenang datang satu-satu benang masih aku uraikan dengan sabar.

4. Fase Self-Worth

Hal paling krusial agar tidak kembali pada hubungan yang salah adalah dengan menyadari nilai diri dan persepsi hubungan apa yang sebenarnya kita inginkan.  Banyak yang gagal move on, karena mereka ga bisa memberikan diri mereka apa yang pernah diberikan pasangannya secara mandiri. Jadi mereka kembali terus menginginkan hal tersebut dari mantan pasangan. 

Maka dari itu, aku mencukupkan bahkan berusaha lebih, dari apa yang biasa aku berikan ke pasangan jadi ke diri aku. Sehingga akhirnya paham bahwa aku sendiri secara konsisten bisa mencukupi apa yang aku butuhkan, misalnya quality time sama diri sendiri dengan rutin setiap minggu-nya ngedate sama diri sendiri. Makan restoran favorite, baca buku, manjain dengan bunga, dan berbelanja apapun yang aku pengen (sejujurnya aku ga needy, jadi belanjaan akupun biasanya masih sangat normal). Bisa dibilang memang untungnya aku secara pribadi mudah seneng dengan hal-hal kecil, bersyukur, dan cukup. Bahkan perihal gift giving, aku memberanikan diri untuk membeli hal yang paling aku inginkan diberikan oleh pasangan ke aku, cincin berlian pink tepat di H-1 ulang tahun. Hal ini membuat aku merasa percaya diri, percaya layak, dan yakin bahwa aku bisa dicintai. Of course semua sesuai dengan kemampuan individu ya. Pastikan tetap bijak dalam konsumsi. Rules dan prinsipku tetap punya tabungan 20x dari harga barang dulu baru berani beli apapun yang tesier. 

5. Fase Memaafkan Diri

Ketika aku bilang jujur sama perasaan sendiri, I mean it. Ketika kita berhubungan pasti engga 100% kita adalah orang baik. Jika kita merasa terus korban, kemungkinan kita punya victim mentality, atau malah kalau kita merasa ga pernah salah jadi narsistik. Maka dari itu hubungan yang sehat, bahkan diri sendiri mengakui bahwa kita pernah dan bisa salah dalam bersikap. Mengakui hal tersebut, dan belajar memaafkan diri salah satu fase terpenting. Aku terus mencari kesalahanku sampai hubungan ini bisa berakhir, apakah dulu salah ucapanku? sikapku? egoisku? ya mungkin semua pernah mengambil andil. Hal tersebut membuat aku belajar untuk meminta maaf ke diriku sendiri karena belum cukup bijaksana. Bahkan dalam kasusku akupun belajar meminta maaf ke mantan, kala itu aku menangis dan menuliskan semua permintaan maafku di draft email yang tak pernah aku kirimkan. 

Manusia memang harus hidup kedepan, dan baru kemudian memahami kesalahan-nya. Sangat naluriah. Belajar dari kesalahan yang ada baik milik sendiri ataupun orang lain. 

Hal tersebut menjadi teori dasar, pada prakteknya, semua kembali ke masing-masing individu. Apakah kamu sudah bisa melewati satu fase ke fase lain? sudah bisa merasakan, mencerna, dan memahami setiap fase? Banyak yang berakhir tanpa ada kata pisah yang proper. Sejatinya memang tidak ada yang siap akan perpisahan. Sebaik-baiknya perpisahan adalah dengan belajar melepaskan, rasa sakit, dan ikhlas akan kehilangan itu.

Sekian.


Selanjutnya, fase yang tidak semua orang rasakan tapi, terjadi diaku.

6. Fase Kembali.

Sejujurnya setelah Oktober aku merasa sudah sangat cukup, bahkan pada saat itu fase puas karena setelah 6 bulan akhirnya aku berhasil tutup buku tanpa melihat ke belakang (tidak lagi penasaran dan cari tahu mantan ataupun berusaha menghubungi). Ternyata tapi beda cerita dengan mantanku, intinya, ia datang kembali meminta maaf diawal November. Namun, disana aku bisa melihat dengan jelas perbedaan realita, bahwa aku yang dulu akan dengan mudah membiarkan ia kembali dalam hidupku, dan saat itu aku yang sudah melewati semua fase diatas sadar, bahwa aku tidak lagi menginginkan hubungan yang pernah kita lewati selama 10 tahun tersebut. Tenang yang aku ceritakan membuatku dapat melihat lebih jelas, pola, sikap, dan segala hal yang masih melekat pada mantanku belum ada perubahan. Jika aku kembali berarti aku akan kembali pada cerita lama yang sudah aku tutup. Pertanyaannya apakah aku mau? Jelas tidak. 

Disana aku bisa menolak kehadirannya. Aku yakin dan mantap. Ketika ia datang ke-dua kalinya bahkan rasanya seperti orang asing. Aku menyadari orang yang berproses denganku selama 9 tahun adalah orang yang berbeda dengan laki-laki dihadapanku saat ini. Disanalah aku yakin bahwa memang tidak akan pernah ada jalan kembali. Kini ataupun nanti. Keduanya sudah begitu asing, setelah 7 bulan, karena aku menyadari saat ini (present) bukan mengelu-elukan ataupun hidup dan mengenang dari fregmen memori dimasa lampau. Tidak peduli seberapa kuat usaha dia membawa seluruh kenangan, kebiasaan, dan memori. Aku sudah lepas dari jerat hubungan toxic tersebut. 

7. Tahap Memulai Hubungan 

Pada tahap ini selanjutnya memilih pasangan menjadi lebih mudah, pattern dari otak yang sehat akan mencari pasangan yang juga sehat. Menarik ya? Akhirnya aku bertemu dengan beberapa orang baru. Komunikasi kami begitu terbuka, jelas, dan terasa mudah. Saling menghargai satu sama lain, bahkan ketika tidak bisa berlanjutpun jelas. Menerima perbedaan dan kemudian melanjutkan langkah satu sama lain tanpa paksaan, coba aja dulu, ataupun hal-hal lain yang membuang energi satu sama lain. Sesederhana itu. 


Jadi terimakasih, sudah membaca sampai akhir, semoga kamu segera pulih dan berhasil menemukan kembali dirimu secara utuh. 








 

0 comments:

Posting Komentar